Cerita rakyat yang senantiasa diwariskan turun temuruan secara lisan tersebut menjadi alasan kenapa di Pantai Ngobaran selalu dipilih oleh umat Hindu melaksanakan upacara Melasti yang diadakan setiap tahun sekali.
Laporan penelitian Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM Andi Putranto di buletin Humaniora Volume XV No.2/2003 memaparkan, demi agamanya Prabu Brawijaya bersama pengikut setianya memilih menyembunyikan diri di wilayah yang sulit dijangkau, yaitu wilayah Pegunungan Seribu Gunungkidul.
Di daerah berbukit-bukit tersebut pelarian tokoh-tokoh kerajaan Majapahit tersebut menyebar di berbagai tempat untuk menghilangkan jejak. Ada yang menetap di Playen, Karangmojo, Ponjong. Sedangkan Prabu Brawijaya sendiri memilih sembunyi di Pantai Ngobaran Kecamatan Panggang. Sebagai penganut agama Hindu yang taat, raja terakhir kerajaan Majapahit ini membuat Paseban untuk melaksanakan upacara keagamaan.
Ditempat yang disebut Paseban inilah Prabu Brawijaya melakukan pati obong guna mengelabuhi pejuang Muslim yang ingin mengajak memeluk agama Islam. Ritual pati obong memang hanya untuk kamuflase. Setelah kabarnya menyebar ke segala penjuru, Prabu Brawijaya mengasingkan diri ke tempat yang lebih sulit dijangkau lagi, yakni Goa Langse yang sudah masuk wilayah Kabupaten Bantul. Di Goa Langse tersebut Prabu Brawijaya mengakhiri hidupnya di dunia fana ini dengan cara muksa.
Peninggalan Prabu Brawijya di Pantai Ngobaran yang disebut Paseban hingga kini selalu digunakan oleh umat Hindu di DIY dan sekitarnya melaksanakan upacara Melasti yang diadakan setiap tahun sekali. Sedangkan Goa Langse menjadi tempat tapa brata bagi masyarakat yang ingin memperbaiki hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar