Beredarnya 1.463 lembar ijazah ilegal dari Yogyakarta menodai citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Inilah yang terjadi saat pendidikan berkualitas semakin sulit terjangkau masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Budaya instan pendidikan pun tak terhindarkan saat keterbatasan sebagian masyarakat ini dibaca oleh pasar.
Dari kacamata bisnis, DIY merupakan pasar yang sangat menggiurkan. Setiap tahun, tak kurang dari 40.000 pencari ijazah sarjana masuk ke kota ini. Akan tetapi, potensi pasar ini harus diperebutkan 805 program studi (prodi) dari sekitar 126 perguruan tinggi.
Dari jumlah ini, hanya beberapa gelintir yang mampu memperoleh jumlah mahasiswa yang memadai. Sisanya harus berjuang bertahan atau memilih menempuh jalan singkat, yaitu dengan membuat iming-iming tanpa peduli kualitas pendidikan. "Ijazah ilegal adalah salah satu bentuk iming-iming itu. Harga ijazah seperti ini murah, proses kuliahnya singkat, dan disertai manipulasi jumlah SKS yang telah ditempuh,
Dari kacamata bisnis, DIY merupakan pasar yang sangat menggiurkan. Setiap tahun, tak kurang dari 40.000 pencari ijazah sarjana masuk ke kota ini. Akan tetapi, potensi pasar ini harus diperebutkan 805 program studi (prodi) dari sekitar 126 perguruan tinggi.
Dari jumlah ini, hanya beberapa gelintir yang mampu memperoleh jumlah mahasiswa yang memadai. Sisanya harus berjuang bertahan atau memilih menempuh jalan singkat, yaitu dengan membuat iming-iming tanpa peduli kualitas pendidikan. "Ijazah ilegal adalah salah satu bentuk iming-iming itu. Harga ijazah seperti ini murah, proses kuliahnya singkat, dan disertai manipulasi jumlah SKS yang telah ditempuh,
Kepentingan bisnis ini bertemu kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi dan akademis terbatas. Sebagian ijazah ilegal diterbitkan Prodi Bimbingan Konseling Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Catur Sakti. Kasus ini ditutup dengan pencabutan izin prodi yang menerbitkan ijazah ilegal serta diperketatnya standar pendidikan tinggi di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar